Catatan Sepanjang Poso

Icon

menjadi jurnalis | bekerja untuk orang banyak

Gua Latea, Makam Leluhur orang Poso

Suku Pamona, suku asli Poso, Sulawesi Tengah mempunyai kebiasaan unik saat menguburkan keluarganya yang meninggal dunia. Jenazah diletakan di dalam peti kayu yang kemudian disimpan di dalam gua hingga tinggal kerangkanya. Sisa-sisa tradisi suku Pamona ini masih bisa kita saksikan di Gua Latea, Tentena, sekitar 57 kilometer arah barat daya Kota Poso atau 267 kilometer dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Suasana magis langsung terasa ketika kita hendak memasuki kawasan Perbukitan Peruru di mana Gua Latea berada. Konon kabarnya bahkan untuk berfoto pun kadang-kadang tidak jadi ketika dicetak. Meski terasa suasana magisnya, perasaan kita terobati dengan pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang segar.

Gua Latea, adalah gua alam berupa bukit kapur yang usia genesisnya ditaksir tidak kurang dari 30 juta tahun silam. Gua ini digunakan sebagai kuburan suku Pamona. Leluhur orang Pamona yang juga biasanya disebut orang Poso itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi, setelah para penginjil dari Belanda menyebarkan agama Kristen di wilayah ini. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam.

Gua ini terdiri dari dua kamar utama. Kamar pertama terletak di kaki bukit di mana terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 tengkorak manusia beserta rangkanya.

Lalu, kamar kedua terletak di atas bukit berisi di mana terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorak dan lima buah gelang tangan.

Gua ini adalah kuburan leluhur suku Pamona. Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60), budayawan Pamona, berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.

“Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua,” kata Yustinus.

Menurut Budayawan Pamona ini, tata cara dan tempat penguburan juga dipengaruhi kelas sosialnya. Diduga kaum bangsawan dikuburkan di kamar utama di atas bukit di mana didapat pula gelang-gelang dari besi dan kuningan.

Selain di Latea, situs penguburan serupa juga dapat ditemukan di Gua Pamona di tepian Danau Poso dengan 12 kamar.

Seiring perkembangan zaman, kedua tempat itu kemudian menjadi lokasi wisata, bahkan seringkali menjadi tempat anak-anak bermain.

Hengki Bawias (30), warga Tentena, menceritakan bagaimana asyiknya mereka bermain dalam gua itu.

“Guanya sampai di bawah aliran Danau Poso. Kalau masuk harus bawa senter, karena setelah kamar ketiga, cahaya sudah tidak ada lagi. Makin jauh juga kita sudah susah bernapas. Tapi saat anak-anak kami suka bermain-main di dalamnya, karena menantang rasa ingin tahu kami,” tutur Hengki, yang kini sudah menjadi pendeta.

Jembatan Rusak
Gua yang merupakan pekuburan kuno ini dapat dicapai langsung dari jalan utama Kota Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer. Sepeda motor dapat dipakai sampai kilometer pertama lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai di mulut gua.

Tapi jangan bersusah hati dulu, suara serangga hutan seperti orkestra, alrian sungai dan tipuan hawa yang segar bisa mengobati kepenatan kita.

Jalan setapak menuju gua ini sudah dibeton dan dibuat berundak-undak. Tapi tetap harus hati-hati karena jalannya agak licin karena berlumut.

Dua jembatan akan kita lewati sebelum sampai ke mulut gua. Sayang, kondisinya rusak, sehingga papan-papan kayu jembatan sudah berganti jadi pokok-pokok bambu.

“Jembatan ini pernah diperbaiki pada 1994, kemudian tidak pernah lagi sampai kayunya menjadi lapuk. Mudah-mudahan setelah ini, setelah Poso sudah aman kembali kita bisa perbaiki lagi dua jembatan menuju gua Latea,” Viktor Nggasi, seorang juru pelihara Gua Latea.

Pemerintah setempat memang agak melupakan pemeliharaan situs ini, setelah 1998-2000, hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso dilanda konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Kini, setelah masa damai tiba makam leluhur orang Poso ini kembali dikunjungi.***

Filed under: Budaya, Wisata

Bambu Nasi Jaha Laku, Asap Dapur pun Mengepul

Palu – Menjelang perayaan hari-hari besar agama di Palu, Sulawesi Tengah, utamanya Natal dan Tahun baru ada pasar dadakan di Jalan Nusa Indah, Palu Selatan. Tapi tidak semua kebutuhan Anda di jual di sana , yang dijual hanya bambu untuk penganan tradisional yang dinamai nasi jaha (sejenis lemang), daun pisang pembungkus burasa (nasi yang dikukus dengan cari dibungkus daun pisang) dan janur pembungkus kalopa (sejenis ketupat).

Adalah Hayati, salah seorang perempuan penjual bungkus kalopa dan daun pisang pembungkus burasa di Jalan Nusa Indah itu. Sejak pagi hari ia sudah mulai membuat bungkus kalopa. Jika pembeli dating, bungkus-bungkus kalopa dari janur itu tinggal ditawarkan. Harganya hanya Rp 100 per buah.

Tangan hayati begitu telaten, menjalin dua helai janur kelapa menjadi sebuah bungkus kalopa yang apik. Jika tidak ada kesibukan lain, dalam sehari, biasanya dia bisa membuat tidak kurang dari 100 bungkus kalopa. Lalu setelah itu dijualnya ke pasar dadakan yang hanya ada saat menjelang hari-hari besar agama ini.

Keuntungannya menurut hayati lumayan juga. Bisalah untuk mengepulkan asap dapur. Apalagi ia juga menjual daun pisang buat bungkus burasa atau pepes ikan.

”Kalau tidak untung, mana mungkin saya mau jualan tiap tahun. Ini sudah hampir sepuluh tahun, saya jualan kalo mau hari raya,” aku Hayati.

Selain Hayati, ada pula Saleh. Lelaki ini adalah penjual bambu untuk nasi jaha, penganan tradisional yang dibuat dari beras ketan yang dibumbu aneka rupa lalu dimasak dalam bambu dan tiap 1 centimeter ketebalannya dilapisi daun pisang.

Lelaki ini mengaku menjadi penjual bambu hampir sejak tahun 1980-an. Ia pun adalah pengisi setia pasar dadakan. Bambu yang dijualnya berasal dari dataran Palolo, lembah subur di selatan Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Untuk tiap ruasnya, Saleh memberi harga Rp 500. Tapi kalau ada yang menawar tentu boleh juga dilepas di bawah harga. Sama dengan Hayati, ia pun berharap bisa mengepulkan asap dapur dari berjualan bambu, agar bisa dipakai buat lebaran.

“Kalo mau tahun baru banyak orang bikin nasi jaha. Biasanya mereka sudah pesan duluan sama saya jauh-jauh hari. Bisalah hasilnya dibawa pulang buat anak istri,” kata Saleh, sambil terus mengukur ruas-ruas bamboo dan menggergajinya.

Nah, jika suatu saat anda ke Jalan Nusa Indah dan berharap pasar dadakan ini ada, datanglah di saat menjelang perayaan hari-hari besar agama, utamanya Natal dan Tahun Baru. Di luar waktu itu, jangan harap Anda akan bersua dengan pasar dadakan ini.***

Filed under: Budaya, Wisata

Seratus Arca Megalith Poso Dicuri


Palu – Tidak kurang dari seratus buah arca dari situs megalith, Poso, Sulawesi Tengah dilaporkan hilang dicuri. Sebagian arca dari zaman pra sejarah tersebut kini telah diperjualbelikan di Pulau Bali. Situs megalitik di Lembah Napu, Bada dan Besoa di diperkirakan adalah situs megalitikum terluas di Indonesia. Namun, kondisinya kurang terawat dan kurang dipromosikan. Ketiga kawasan itu masuk dalam wilayah Kecamatan Lore Utara dan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Sulteng.

Laporan kehilangan arca warisan zaman prasejarah atau zaman megalitikum, itu terungkap dalam laporan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Poso, saat mereka mengadakan kunjungan kerja ke Bali. Sebelumnya didapat laporan bahwa sebagian arca megalit terlihat diperjualbelikan di salah satu gallery di Bali dan setelah dicek laporan tersebut benar.

Penelusuran itu atas inisiatif Ketua DPRD Poso, Sawerigading Pelima. Ia menugaskan sejumlah anggota Dewan Poso, di antaranya Ketua Komisi B Asmir Podungge untuk melacak kebenaran informasi itu.

Nah, karena Pelima adalah To Poso, sebutan bagi orang Poso asli, maka setelah diperlihatkan foto-foto dari hasil pelacakan anggota Dewan itu, yakinlah dia bahwa itu berasal dari situs megalitikum Lembah Napu, Bada dan Besoa.

Dewan Poso juga sudah melaporkan kasus ini kepada Pemerintah setempat, namun belum mendapat tanggapan.

Pencurian benda-benda purbakala itu diduga melibatkan sindikat nasional dan internasional. Itu diduga sudah berlangsung kira-kira enam tahun lamanya hingga kini.

Namun, Kepala Seksi Purbakala Dinas Pariwisata, Sulawesi Tengah, Syamsuddin mengatakan bahwa mereka belum mempunyai data atau laporan resmi terkait hal itu.

“Para juru pelihara yang sudah kami latih sampai saat ini belum melaporkan adanya kehilangan itu. Kalau ada apa-apa mereka langsung hubungi kami. Meski begitu, kami segera membentuk tim untuk melacak kebenaran informasi itu,” kata Syamsuddin.

Tim terpadu itu, nantinya akan diberangkatkan ke Bali untuk melakukan investigasi penjualan arca megalith Poso yang dilaporkan raib.

Saat ini, sebagian besar arca yang ditaksir berusia sekitar 3000 – 4000 SM itu masih berada di situs alamnya di Lembah Napu, Bada dan Besoa di Kecamatan Lore Utara dan Lore Selatan. Sementara sebagiannya sudah dibawa ke Museum Negeri Sulawesi Tengah.

Ajabar Gani, dari Seksi Koleksi Museum Negeri Sulawesi Tengah mengatakan bahwa tidak semua arca bisa mereka pindahkan. Mereka hanya memindahkan arca-arca kecil.

“Sebagian kami lestarikan secara eks situ atau di luar situs alamnya dengan pertimbangan menghindari pencurian atau karena posisinya yang rentan oleh kejadian alam. Misalnya di pinggir sungai. Ini juga untuk memudahkan penelitian,” jelas Ajabar.

Arca megalith adalah merupakan hal yang langka di dunia karena hanya terdapat di Napu, Besoa, Bada dan di Marquies Island, Amerika Latin.

Di tiga situs di wilayah Kabupaten Poso itu terdapat beragam peninggalan zaman megalitikum. Ada yang berupa arca, menhir atau dolmen.

Dibanding situs-situs arkeologi lainnya, situs ini kurang mendapat perhatian. Padahal kita tahu usia arca-arca megalitikum itu lebih tua daripada Borobudur yang begitu dibanggakan masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat Jawa Tengah.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 432 objek situs megalith di Sulawesi Tengah. Tersebar di Lore Utara dan Lore Selatan, Poso sebanyak 404 situs dan di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs. Namun, kondisinya memprihatinkan karena kurang terawat. Promosi wisatanya pun tidak cukup. Dan sekarang ditambah lagi dengan aksi-aksi jahil para pencuri benda purbakala.***

Filed under: Arkeologi, Budaya, Hukum dan Kriminal

Motto

only from the heart can you touch the sky | jalaluddin rumi | 1207-1273 | turkish sufi mystic poet
May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 11,155 hits